Jakarta – Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) menggelar Diskusi Webinar Series ke-19 di Jakarta dengan tema “Pendekatan Kemanusian dan Keamanan di Papua”. Diskusi daring itu digelar pada Kamis (3/12/2020).
Diskusi yang dihadiri oleh Direktur Eksekutif PSKP Efriza sebagai pemantik diskusi, salah satunya menghadirkan mantan Kepala Bais TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto.
Dalam diskusi tersebut, Laksda TNI (Purn) B. Soleman Ponto menyampaikan pembahasan di Papua melalui pendekatan kemanusiaan yang didasarkan kepada Hukum HAM (Hak Asasi Manusia) dan pendekatan keamanan didasarkan kepada Hukum Humaniter.
Menurutnya, Hukum HAM dan Humaniter dipakai karena keuniversalan hukum ini berlaku dalam dunia internasional.
Laksda TNI (Purn) Soleman Ponto mengatakan bahwa ada konflik yang tidak bisa digolongkan menjadi konflik bersenjata yaitu kekacauan atau tindakan kriminal bersenjata.
Dia mengatakan bahwa situasi di Papua saat ini bukanlah konflik bersenjata, karena yang berada di Papua saat ini adalah kelompok kriminal bersenjata (tindakan kekerasan bersenjata).
Mengenai bagaimana situasi di Papua saat ini. Apakah di Papua terjadi konflik senjata ataukah gangguan keamanan atas tindakan kriminal bersenjata, mantan Kepala Bais TNI menjelaskan bahwa dalam konflik bersenjata, Hukum Humaniter konflik dibagi menjadi dua bagian yaitu konflik bersenjata Internasional dan konflik bersenjata internal.
“Apabila ada pasukan pembangkang bersenjata melakukan perlawanan terhadap angkatan bersenjata suatu negara, maka itu adalah konflik bersenjata internal,” katanya.
Sedangkan dalam Hukum HAM, Laksda TNI (Purn) Soleman Ponto menjelaskan bahwa terdapat tiga poin mengenai keadaan Papua pada saat ini yaitu pertama, mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau hak kelompok, serta perlindungan secara internasional dari pelanggaran yang dilakukan pemerintah atau aparatnya maupun aktor non-negara yang terlibat.
Kedua, yakni hak untuk hidup, merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun oleh siapa pun.
“Ketiga, hak untuk menentukan nasibnya sendiri (Internal dan Pemisahan ‘pembebasan dan separatis’),” jelasnya. (*)