Setelah 5 Tahun, FITRA Minta UU Desa Disederhanakan

Rabu, 4 Maret 2020 | 13:10 WITA

Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia

MelekNews.Id – Penerapan Undang-Undang desa nomor 6 tahun 2014 tentang yangvtelah hadir sebagai subjek yang memberikan kebebasan kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri ternyata masih menghadapi berbagai permasalahan serius.

Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya regulasi teknis yang saling tumpang tindih, tidak selaras dan bahkan bertentangan dengan UU desa itu sendiri termasuk masih kurang dan lemahnya koordinasi /lembaga

Dari sekian banyak masalah yang timbul maka dipandang perlu untuk segera dilakukan menyelesaikan terutama persoalan yang mendasar dan mendesak.

Hal tersebut dengan melakukan penyederhanaan dalam pelaksanaan UU Desa dan Langkah strategis dan taktisnya adalah mengkonsolidasikan dua Peraturan Pemerintah (PP) yang ada dan semua peraturan teknis turunannnya.

Kedua PP tersebut adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah terakhir menjadi PP No. 11 Tahun 2019

Sedangkan untuk PP No. 60 Tahun 2014 yang memuat tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang telah diubah menjadi PP No. 8 Tahun 2016.

Kedua PP tersebut didesak untuk dikonsolidasikan menjadi satu PP dan mempertimbangkan pengurangan jumlah peraturan teknis (Peraturan Menteri, Peraturan Daerah,Peraturan Kepala Daerah) turunannya dikarenakan sebagai landasan utama pelaksanaan UU Desa,

Kedua PP tersebut juga telah mereduksi desa sekedar menjadi pemerintahan desa. Dalam PP No. 43 Tahun 2014 jelas termuat tentang hirarkhi kekuasaan pemerintahan desa yang berada di bawah camat, bupati/walikota, dan gubernur;

Selanjutnya kedua PP itu juga telah mendistorsi asas utama UU Desa, yaitu asas rekognisi dan subsidiaritas. Dalam Pasal 21 PP No. 60 Tahun 2014 kedua asas utama tersebut didistorsi dengan memerintahkan Menteri Desa untuk menetapkan kebijakan prioritas penggunaan dana desa setiap tahun anggaran. Asas rekognisi dan subsidiaritas pada dasarnya mengamanatkan desa memiliki otoritas untuk menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul yang di dalamnya

mengandung kearifan lokal. Sedangkan tugas pemerintah supra desa lebih banyak mendukung, memfasilitasi, dan memastikan hal apa yang menjadi otoritas desa bekerja dengan baik dengan melakukan pembinaan dan pengawasan akan Keberadaan PP No. 60 Tahun 2014

sekarang ini membuat otoritas Kemendesa PDTT, K/L lainnya dan Pemda menjadi semakin kuat, sementara desa menjadi semakin lemah.

masih menempatkan desa sebagai obyek pembangunan. Adanya kedua PP yang sekarang ini, justeru memungkinkan bagi K/L dan Pemda masih mengalokasi anggaran program ataupun kegiatan dan bahkan melaksanakan langsung program kegiatan berskala desa.

Padahalenurut mandat UU Desa jelas dan secara nyata telah memberikan mandat kewenangan pembangunan kepada desa, sehingga desa tidak lagi semata-mata sebagai obyek dan lokus pembangunan semata melainkan sebagai arena dan subyek pembangunan.

Termasuk telah mereduksi hak keuangan desa menjadi keuangan negara. Dalam pasal 72 UU Desa yang menyebutkan bahwa Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan konsekuensi dari penggunaan asas rekognisi dan subsidiaritas yang dipakai sebagai landasan pengaturan UU

Permasalahan tersebut disimpulkan dari hasil riset yang dilakukan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta di Kabupaten Serdang Bedagai, Bantul, dan Pasangkayu; Hasil Studi Longitudinal Pemantauan Pelaksanaan UU Desa pada Oktober 2015 – April 2018 yang dilakukan Smeru Research Institute; dan terakhir Policy Brief yang diterbitkan Bank Dunia dan KOMPAK pada Oktober 2019

“Peningkatan Koordinasi Pelaksanaan Desa. Dalam pasal tersebut disebutkan adanya tujuh sumber pendapatan desa diantaranya adalah anggaran yang bersumber dari APBN (Dana Desa) dan yang bersumber dari APBD (Alokasi Dana Desa). Jika merujuk pada UU Desa, kesemua sumber pendapatkan tersebut menjadi hak dan kewajiban desa. Sementara itu, PP No. 60 Tahun 2014 justru lebih cenderung mereduksi hak desa tersebut menjadi keuangan negara.

Akibat dari permasalahan yang ditemukan pada kedua PP tersebut, pelaksanaan UU Desa di lapangan sejauh ini menghadapi beberapa kendala dan tantangan .

Akibatnya desa dalam menentukan kewenangan yang bisa dijalankan menjadi terbatasi. Hal ini terjadi karena otoritas untuk menentukan kewenangan yang mampu dijalankan oleh desa ditentukan oleh Kemendagri dan pemerintah daerah yang Artinya, tidak banyak tersisa ruang bagi desa untuk melaksanakan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, yang mestinya hal itu diatur dan diurus oleh desa.

Termasuk juga fragmentasi penatausahaan dan pelaporan keuangan desa terbatasi, Hal ini mengakibatkan beban administrasi bagi pemerintah desa terlalu besar, karena PP 60 Tahun 2014 menuntut pelaporan Dana Desa tersendiri melalui aplikasi OMSPAN.

Di sisi lain, penatausahaan dan pelaporan yang rumit membuat pemerintah desa lebih sibuk membuat laporan penggunaan keuangan kepada pemerintah supra desa ketimbang membangun akuntabilitas sosial, mengembangkan demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Disamping itu hak desa dalam menggunakan anggaran yang dimiliki menjadi terbatas, ini terjadi karena prioritas penggunaan dana desa ditetapkan secara top-down tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi setiap desa yang sangat bervariasi.

Hal ini membuat RPJMDesa akhirnya menjadi dokumen formalitas belaka, tidak responsif kondisi yang ada di desa.

Akibat lainnya adalah membuat kebutuhan kelompok masyarakat miskin dan marginal tidak bisa diutamakan karena dikalahkan oleh kepentingan ‘sebagian besar’ masyarakat.

Tantangan selanjutnya adalah praktik akuntabilitas sosial dalam program kegiatan desa. Hal ini terjadi karena aspirasi warga masyarakat yang sudah diserap oleh pemerintah desa (akuntabilitas sosial), yang kerap kali dikalahkan oleh “intervensi” kepentingan pemerintah supra desa. Intervensinya dalam bentuk berbagai program titipan yang pembiayaannya dibebankan pada APBDesa.

 

 

Desa juga tidak bisa mengelola aset secara optimal. Karena ‘kekayaan’ asli desa dapat berupa tanah, hutan, sumber air milik klan/ marga/ulayat yang tidak bersertifikat namun secara tradisional diakui dan diketahui masyarakat.

Akan ada kontradiksi mandat pembinaan dan pengawasan ke desa. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak memberikan peran bagi Pemerintah Daerah Provinsi di dalam urusan pembinaan administrasi Pemerintahan desa. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan pasal 112 dan pasal 114 UU Desa, dimana Pemerintah Daerah Provinsi bertugas membina Pemerintah Daerah

Dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang Sejalan dengan arahan Presiden untuk RPJMN 2020-2024: “Pencapaian Visi 2045 melalui transformasi ekonomi yang didukung oleh hilirisasi industri dengan memanfaatkan sumber daya manusia, infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi”

Atas pertimbangan ini semualah maka kami mendesak dan menuntut kepada pemerintah untuk segera melakukan penyederhanaan pelaksanaan UU Desa,

Dimulai dengan penyatuan dua PP tersebut di atas.

Penulis. :.  Misbah Hasan (Sekjen FITRA) dan Badiul Hadi (Manager Riset FITRA) serta Sunaji Zamroni (Pemerhati Desa